SOLO – Dalam pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pesantren Muhammadiyah dari Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM), beberapa pemateri hadir untuk memberikan wawasan.
Di hari ke dua pelaksanaan tersebut, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof., Dr., Din Syamsuddin, M.A., hadir memberikan materi mengenai Karakteristik Pesantren Muhammadiyah dan Tantangan Global, Sabtu (2/9) di Ruang Meeting Gedung Edutorium K.H Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
“Saya sering ditanya oleh orang tua, kenapa Muhammadiyah akhir-akhir ini mendirikan pondok pesantren, bukankah itu ciri khas Nahdlatul Ulama (NU)? Dan Muhammadiyah memulai dengan sekolah, suatu lembaga pendidikan modern yang bersifat klasikal kelas dengan kurikulum modern yang sesungguhnya merupakan antitesa dari pesantren yang sudah hidup,” jelasnya.
Dia menjawab bahwa hal tersebut adalah konvergensi antara NU dengan Muhammadiyah, di mana ke dua organisasi tersebut sering menyajikan perbedaan. Saat ini, NU sudah mulai mendirikan dan mengembangkan perguruan tinggi, sehingga Muhammadiyah mengikuti untuk mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren.
Tetapi menurutnya, Pesantren Muhammadiyah harus ada pembaruan dan memiliki karakteristik yang berpegang teguh dengan nilai-nilai berkemajuan.
“Dan karakteristik pondok pesantren Muhammadiyah sendiri itu tiada lain adalah ‘Islam Berkemajuan’ itu sendiri,” ungkap Din.
Dalam era tantangan globalisasi ini, Dia menyebutkan bahwa bangsa yang mampu menguasai tiga kriteria globalisasi, yaitu kualitas, kompetisi, dan daya saing, maka bangsa tersebut akan berjaya. Begitu sebaliknya, maka suatu bangsa akan terpelanting dari kemajuan global di mana di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan teknologi.
Oleh karena itu, Din Syamsuddin menyarankan agar para pengurus dan santri memiliki pemikiran untuk siap bersaing dan siap bertanding, bukan perjuangan melawan dengan emosional, rasa marah, bahkan sumpah serapah.
“Dan untuk itu, orientasikan pendidikan kita, di mana menghasilkan generasi manusia yang secara rohaniah juga kuat jasadiyah, yaitu lahir dan batin,” pesannya.
Selanjutnya dia juga berpesan agar pendidikan juga memikirkan faktor afektif, dengan melakukan pendekatan.
“Oleh karena itu, jangan semata-mata untuk menyantuni kecerdasan nasional, faktor kognitif belaka, tapi tidak menyentuh faktor afektif di dalam pendidikan itu,” tegasnya. Pimpinan pesantren harus selalu memikirkan keadaan pesantren untuk kemajuan pesantren itu sendiri.
Sebelumnya, Ketua LP2PPM Dr. Maskuri, M.Ed juga memberikan materi mengenai peluang dan tantangan Pesantren Muhammadiyah pasca diundangkannya UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren. (Maysali/Humas_UMS)